Rabu, 19 Agustus 2020

Dalam Tirto.ID, 5 Agustus 2020, dikutip, Peter Carey mengatakan Diponegoro itu "bukan seorang Wahabi, bukan seorang Taliban, dia bukan seorang radikal di dalam agama." Sebagai sesama sejarawan, saya ingin mengkritisi pernyataan Carey itu karena bermasalah. 

Pertama, anakronisme sejarah. Anakronisme (dari kata Yunani, "ana" artinya "melawan" dan "khronos" artinya "waktu") adalah ketidaksesuaian kronologis dalam suatu karya, khususnya penempatan seseorang, peristiwa, benda, atau adat-istiadat yang tidak sesuai dengan latar waktunya. 

Lain kata, anakronisme sejarah adalah mengukur peristiwa masa silam dengan istilah-istilah masa kini yang menghasilkan bias atau ketidakakuratan sebutan. Istilah "Taliban" baru muncul tahun 1994, gerakan perlawanan di Afghanistan yang didukung AS dan Pakistan. Dan istilah "radikal," baru populer dituduhkan pada gerakan politik agama, terutama pada Islam, sejak tahun 2001 oleh dunia Barat. Jadi mengatakan Diponegoro bukan radikal itu tidak tepat, bias. Walaupun seperti kalimat positif tapi mengandung tendensi kekinian yang negatif.

Kedua, kalau radikal atau radikalisme dimaksudkan sebagai gerakan perlawanan politik agama, sedangkan motivasi, dorongan dan spirit Diponegoro melawan kolonial Belanda, jelas-jelas agama karena dia seorang Muslim taat alias santri, kalau dikatakan "bukan radikal di dalam agama," lalu Diponegoro disebut gerakan apa? 

Diponegoro yang lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta, adalah santri penganut tarekat yang nama aslinya adalah Abdul Hamid. Santri Abdul Hamid mondok belajar agama pertama kepada KH Hasan Besari, ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro, mengaji Tafsir Jalalain kepada KH Baidlowi Bagelen dan belajar ilmu hikmah kepada KH Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Sebagai putra Sultan Hamengkubuwono ke-III dari istri Pacitan, Jawa Timur, nama lengkap Diponegoro beserta gelarnya adalah Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi. Motivasi santri Abdul Hamid alias Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawan (125-1930) jelas agama. Kalau bukan agama, apa? Patok dan tanah yang tergusur? Itu penghinaan pada ulama. 
 
Para ulama-pahlawan yang paling sadar kedaulatan negeri, paling sadar anti pengaruh buruk asing dan penjajahan oleh Belanda disebut "pemberontak," oleh kita setelah merdeka disebut "pahlawan." Ulama dengan kesadaran yang sama, zaman kini, pemerintah dan kita menyebutnya "radikal" dengan tendensi yang sangat negatif. Sebutan yang kacau beliau.

Ungkapan "Diponegoro bukan radikal dalam agama" adalah ungkapan memaksakan diri Peter Carey agar tidak terkesan tendensi negatif kepada tokoh perang Jawa itu padahal faktanya memang radikal dalam sebutan sekarang, tapi kita melihatnya positif karena melawan kolonial sebagai penjajah. 

Mengapa Peter Carey mengatakan begitu? Karena sang sejarawan itu sangat mengagumi sosok Diponegoro yang hebat, tapi tidak ingin "radikalisme Diponegoro" (tepatnya heroisme Diponegoro) menular dan menjadi spirit gerakan-gerakan keagamaan (Islam) sekarang. Mengapa begitu? Ya gampang menjawabnya. Karena Peter Carey adalah sejarawan asing dan non-muslim.***

Oleh : Moeflich Hasbullah

Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=314796619864705&set=a.116299739714395&type=3&theater

Post a Comment: